Doa adalah salah satu ibadah mulia yang sangat dianjurkan dalam Islam. Sehingga kewajiban setiap muslim adalah mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat mengamalkannya. Sebab tuntunan beliau adalah yang terbaik, tersempurna dan terbenar.
Beliau telah menerangkan sejelas-jelasnya segala hal yang berkaitan dengan doa. Kapan waktu mustajabnya? Di mana tempat yang mustajab? Kondisi seperti apa yang mustajab? Siapa orang-orang yang doanya mustajab? Dan lain sebagainya.
Doa untuk segala kondisi yang dibutuhkan setiap insan, juga sudah dijelaskan doanya. Saat dia sedih atau senang, sakit atau sehat, mendapat nikmat atau ditimpa musibah, bepergian atau menetap dan berbagai kondisi lainnya. Saat akan tidur atau bangun tidur, ketika memasuki kamar mandi atau keluar darinya, saat mengenakan pakaian atau melepaskannya, ketika memasuki masjid atau keluar darinya dan masih banyak lagi yang lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِىٌّ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ…”.
“Tidak ada satu nabi pun sebelumku, melainkan wajib mengajarkan kebaikan yang ia ketahui kepada ummatnya dan memperingatkan mereka dari keburukan yang ia ketahui…”. HR. Muslim (no. 1844) dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu.
Maka sungguh amat memprihatinkan keadaan sebagian orang yang disibukkan dengan doa-doa yang tidak ada tuntunannya. Di waktu yang sama, doa-doa yang ada tuntunannya malah ia tinggalkan.
Imam ath-Tharthusyiy (w. 520 H) berkata, “Di antara perilaku yang paling aneh, adalah meninggalkan doa-doa yang disebutkan Allah dalam al-Qur’an. Doa yang dipanjatkan para nabi, para wali, para manusia pilihan, dan doa tersebut telah terjamin mustajab. Kemudian memilih berdoa dengan doa-doa para penyair dan penulis biasa. Seakan telah mengamalkan seluruh doa para nabi, lalu merasa perlu untuk menambahinya dengan doa dari selain mereka”.[1]
Yang lebih parah lagi, seringkali doa-doa bikinan sendiri itu mengandung kata-kata kufur dan permohonan bantuan kepada selain Allah ta’ala.
Setelah menjelaskan tentang pentingnya mencukupkan diri dengan doa-doa yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah, Imam al-Qarafiy (w. 684 H) mengingatkan dari doa-doa yang menyimpang.
Kata beliau, “Wajib menjauhi doa-doa yang mengandung kekufuran dan yang semisalnya. Sebab akan mendatangkan kemurkaan Allah dan mengakibatkan kekal di neraka”.[2]
Adapun doa yang bersifat umum, tidak terbatas waktu atau tempat, yang tidak ditentukan syariat redaksi doanya, maka tidak mengapa bagi seorang muslim untuk menggunakan redaksi sendiri. Namun dengan syarat, redaksi tersebut tidak mengandung unsur penyimpangan, tidak diyakini memiliki keistimewaan khusus, dan tidak dirutinkan pengamalannya.[3]
Akan tetapi dengan tetap memprioritaskan doa yang ada di dalam al-Qur’an dan Sunnah.
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 6 Dzulhijjah 1438 / 28 Agustus 2017
[1] Al-Futûhât ar-Rabbâniyyah karya Ibn ‘Allan (I/17).
[2] Al-Furûq (IV/264-265).
[3] https://islamqa.info/ar/131985